Rabu, 07 Desember 2011

Bermakmum pada Imam yang tidak Baik Bacaannya

( serial Dakwah Kampoeng : Ust. Adhie )

Mampir sejenak di sebuah warung kopi. Seorang teman bertanya tentang seorang Imam yang kurang baik bacaannya di suatu Masjid di Kampung tempat dia tinggal. menanyakan apa sah shalat jama'ahnya, perlukah diulang kembali dan dikerjakan secara Munfarid, atau mesti Mufaraqah (memisahkan diri tidak ikut jama'ah)?
Diantara persyaratan seorang bisa menjadi imam dalam shalat adalah memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an dengan benar dan memiliki sejumlah hafalan tertentu menjadi sebab sahnya shalat.
Persyaratan itu bisa dianggap jika orang-orang yang bermakmum kepadanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam membaca Al Qur’an. Tidaklah sah imamnya seorang yang ummi (tidak bisa baca Al Qur’an) terhadap orang yang bisa membacanya, tidaklah sah imamnya seorang yang bisu terhadap orang yang bisa membaca Al Qur’an atau terhadap orang yang ummi karena membaca adalah salah satu rukun didalam shalat. Tidaklah sah makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an dibelakang orang yang tidak pandai membacanya karena imam adalah penjamin dan yang bertanggungjawab terhadap bacaan makmumnya dan ini tidaklah mungkin terdapat didalam diri orang yang ummi.
Adapun imamnya seorang yang ummi untuk orang yang ummi juga atau bisu maka diperbolehkan, ini merupakan kesepakatan para fuqaha. Kemudian imamnya seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang melantunkan dengan suatu lantunan yang tidak merubah arti maka ia makruh menurut para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut para ulama Hanafi bahwa seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang mengucapkan huruf siin menjadi tsa atau ro’ menjadi ghoin atau sejenisnya maka ia dilarang untuk menjadi imam. Menurut para ulama Maliki keimaman mereka dibolehkan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2149)
Jumhur ulama (para ulama Hanafi, Maliki dan Hambali) menagatakan bahwa janganlah seorang makmum lebih kuat (mampu) keadaannya dalam membaca Al Qur’an daripada imamnya. Tidak diperbolehkan seorang pandai membaca Al Qur’an bermakmum dengan seorang yang ummi tidak dalam shalat wajib maupun sunnah. Tidak diperbolehkan seorang yang sudah baligh bermakmum dengan anak kecil, tidak diperbolehkan seorang yang mampu melakukan ruku’ dan sujud bermakmum dengan orang yang tidak mampu melakukan keduanya.
Demikian pula tidak sah makmumnya seorang yang sehat dibelakang orang yang sakit seperti penderita enuresis. Tidak sah makmumnya seorang yang menutup aurat dibelakang orang yang tampak auratnya sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan Hambali sementara hal itu dimakruhkan oleh Maliki,
Para ulama Hanafi menyebutkan sebuah kaidah dalam permasalahan ini,”Pada dasarnya keadaan imam walaupun seperti keadaan makmumnya atau lebih diatasnya maka shalat mereka semua dibolehkan. Akan tetapi jika imamnya dibawah kualitas makmum maka shalatnya imam sah dan shalat makmumnya tidaklah sah. Dan jika imamnya ummi sementara makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an atau imamnya bisu maka shalat imamnya juga tidak sah.
Para ulama Hanafi telah memperluas penerapan prinsip ini pada banyak permasalahan. Kadah ini diikuti oleh para ulama Maliki dan Hambali sementara para ulama Syafi’i menentang mereka dibanyak permasalahan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal II 1899)
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al Fathihah dikarenakan kelemahan membacanya atau merubahnya dengan huruf yang lain, seperti orang yang al altsagh (merubah huruf ro’ menjadi ghoin), al arotti (orang yang mengidghomkan satu huruf ke huruf lainnya) atau melagukan dengan dengan lagu yang merubah makna seperti orang yang mengkasrohkan huruf kaf pada iyyaka atau orang yang mendhommahkan huruf ta’ pada an’amta dan tidak mampu memperbaikinya maka orang itu adalah seperti seorang yang ummi dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang pandai membaca al Qur’an bermakmum kepadanya.
Dan diperbolehkan bagi setiap mereka menjadi imam bagi orang yang memiliki bacaan seperti dirinya karena keduanya adalah orang yang ummi, diperbolehkan bagi salah seorang dari mereka berdua menjadi imam bagi seorang lainnya seperti dua orang yang tidak bisa memperbaiki bacaannya sedikit pun.
Sedangkan apabila seorang yang mampu memperbaiki bacaannya namun ia tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah begitu juga dengan shalat orang yang bermakmum dengannya. (al Mughni juz II hal 411)
Dengan demikian tidak seharusnya seorang imam memiliki kualitas bacaan yang buruk atau tidak benar didalam pengucapan huruf-huruf al Qur’an baik ketika membaca Al Fatihah yang merupakan salah satu rukun shalat atau surat-surat lainnya sementara dibelakangnya terdapat orang yang pandai membaca Al Qur’an.
Hal itu dikarenakan akan mempengaruhi kesahan shalat dirinya atau shalat makmum yang lebih pandai darinya sebagaimana penjelasan diatas.
Mufaraqah Dari Imam Sholat Yang Buruk Bacaannya
Tentang niat mufaroqoh (memisahkan diri) seorang makmum dari imam lalu dia menyelesaikan shalatnya sendirian baik karena adanya uzur atau tidak maka ini boleh meskipun makruh menurut para ulama Syafi’i karena ia memisahkan diri dari berjama’ah yang merupakan kewajiban atau sunnah yang muakkad.
Sedangkan menurut para ulama Hambali bahwa mufaroqoh dibolehkan jika terdapat uzur. Sedangkan jika tidak terdapat uzur didalamnya maka dalam hal ini terdapat dua riwayat, pertama : shalat orang yang mufaraqoh itu tidak sah, pendapat inilah yang benar. Kedua : shalatnya sah. Para ulama Syafi’i mengecualikan pada shalat jum’at.
Diantara perkara-perkara yang dikatakan uzur seperti : panjanganya bacaan imam, meninggalkan salah satu sunnah shalat seperti tasyahhud awal, qunut—maka dirinya boleh mufaroqoh dengan mengerjakan sunnah itu—atau sakit, khawatir dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu yang merusak shalatnya, takut hartanya hilang atau rusak, ketinggalan rombongan, atau terdapat orang yang meninggalkan shaff lalu tidak ada orang menggantikannya untuk berdiri disampingnya.
Dalil mereka adalah apa yang disebutkan didalam ash shahihain,”Bahwa Muadz melaksanakan shalat isya bersama para sahabatnya dan ia memanjangkan (bacaannya) lalu terdapat seorang laki-laki yang keluar (dari shaff) dan mengerjakan shalat. Kemudian Muadz mendatangi Nabi saw dan menceritakannya dan Rasulullah saw pun marah dan mengingkari apa yang dilakukan Muadz dan beliau saw tidak mengingkari apa yang dilakukan lelaki itu serta beliau saw tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”
Para ulama Hanafi mengatakan bahwa boleh seorang makmum melakukan salam sebelum imam meski hal itu makruh, akan tetapi mereka tidak mempebolehkan melakukan mufaroqoh. Sedang para ulama Maliki mengatakan barangsiapa yang bermakmum dengan seorang imam maka tidak boleh baginya melakukan mufaroqoh. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II 1227)
Jadi mufaroqoh yang kita lakukan ketika terdapat uzur termasuk bacaan imam yang tidak baik dalam al Fatihah diperbolehkan menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Meskipun hal itu diperbolehkan akan tetapi apabila dilakukan terus menerus tentunya akan menjadi perhatian para makmum lain yang ada di sekitar kita.  Bisa jadi diantara mereka terdapat orang-orang awam yang tidak memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat secara baik sehingga dikhawatirkan memunculkan fitnah karena ketidaktahuan mereka.
Untuk itu ada baiknya kita mengingatkan permasalahan ini kepada imam tersebut dengan cara yang penuh hikmah dan bijaksana serta sebisa mungkin dilakukan secara sembunyi antara kita dan dirinya saja dan meminta agar yang bersangkutan memperbaiki bacaannya atau jika tidak bisa agar menyerahkan keimamannya kepada orang yang lebih baik bacaannya.
Jika nasehat atau peringatan yang kita sampaikan kepadanya tidaklah diterima atau dijalaninya sehingga orang itu tetap saja bersikukuh untuk menjadi imam shalat-shalat fardhu di masjid kita sementara kualitas bacaannya masih tidak baik (buruk) maka hendaklah kita mencari masjid lain sekitar rumah kita yang bacaan imamnya baik meski hal itu menjadikan berkurangnya jumlah makmum di masjid tempat kita tinggal. Dikarenakan sahnya shalat seseorang di dalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas bacaan imam. Oleh karena itu setiap orang bertanggung jawab untuk menentukan siapa imam shalatnya sehingga shalatnya menjadi sah.
Akan tetapi apabila di sekitar rumah kita tidak ada masjid selainnya atau ada namun jaraknya cukup jauh untuk ditempuh maka diperbolehkan bagi kita untuk tetap bermakmum kepada imam di masjid kita yang buruk bacaannya itu dikarenakan keterpaksaan.

Kamis, 01 Desember 2011

Menikah dengan Sepupu yang Menjadi Wali

( serial Dakwah Kampung : Ust. Adhie )

“Menikah dengan Sepupu yang harusnya Menjadi Wali ?"
Saya ditanya oleh guru ngaji saya (red: guru baca tulis al Quran ketika masih anak-anak) saat ngobrol santai di warung serabi. Apakah sah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing adalah saudara sepupu dari garis keturunan ayah? Yang menjadi masalah adalah bahwa calon mempelai perempuan sudah tidak memiliki wali samasekali yang berhak menjadi wali nikah, kecuali sepupu laki-laki yang pada saat ini justru menjadi calon suaminya. 
Perlu kita ketahui dengan jelas bahwa sebuah pernikahan itu hanya sah bila melalui proses akad nikah. Dan yang namanya akad nikah itu hanya dilakukan oleh seorang ayah kandung dari seorang anak perempuan dengan calon menantunya. Akad nikah tidak pernah dilakukan oleh sepasang calon pengantin, apalagi oleh orang lain. Benarlah Rasulullah SAW ketika bersabda,
"Tidak ada akad nikah kecuali wali mursyid dan oleh dua orang saksi yang adil".
Siapapun wanita yang menjalani pernikahan namun tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil.

Mengapa nikahnya batil?
Karena akad nikah itu memang hanya dilakukan oleh dua orang laki-laki. Yang pertama adalah ayah kandung dari seorang perempuan. Yang kedua adalah calon suami. Bila ayah kandung itu mengucapkan kepada calon suami, Aku nikahkan kamu dengan putriku , lalu calon suami menjawab, Ya , maka tali ikatan pernikahan otomatis sudah terbentuk, bila kejadian itu disaksikan oleh dua orang saksi yang memenuhi 6 syarat, yaitu: keduanya muslim, laki-laki, merdeka, aqil, baligh dan adil.
Siapa pun tidak pernah punya hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalau pun dilakukan juga, maka pernikahan itu tidak sah, baik secara hukum agama, apalagi hukum negara. Kalau pasangan itu nekad kawin juga bahkan melakukan hubungan suami istri, maka perbuatan itu zina yang berhak untuk dieksekusi rajam atau cambuk 100 kali plus diasingkan selama setahun.
Siapapun yang mengangkat diri menjadi wali tanpa ada izin sah dari ayah kandung, lalu menikahkan pasangan, berhak masuk neraka karena telah menghalalkan perzinaan yang nyata dilarang oleh semua agama.
Apakah kedudukan ayah kandung (wali mursyid) tergantikan?
Ayah kandung tidak akan pernah tergantikan kedudukannya sebagai wali hingga kapan pun. Meski ayah tersebut tidak pernah memberi nafkah atau menghilang tak tentu rimbanya. Namun urusan menjadi wali tidak ditentukan oleh sebab perhatian atau perlakuannya kepada anak istri.
Sebab seluruh jasad wanita itu tumbuh dari bibit ayah kandungnya. Hubungan wanita dengannya tidak bisa dinafikan atau dibatalkan. Bahkan secara medis, boleh dikatakan bahwa DNA yang kita miliki bersumber dari DNA beliau.
Maka sepanjang hayat, wanita tidak akan pernah bisa menikah dengan sah kecuali hanya beliau saja yang menjadi walinya. Itulah kesimpulannya. Kecuali…
kecuali dengan beberapa hal, kewalian ayah Anda bisa gugur, yaitu antara lain dengan…
1. Dengan Pemberian Wewenang/Hak Perwalian .
Apabila seorang ayah kandung bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang, baik orang itu masih famili atau pun sama sekali tidak ada hubungan apapun, maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan.
Asalkan orang tersebut memenuhi syarat sebagai wali, yaitu muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka. Meski bukan famili, bukan saudara atau juga bukan keluarga.
Namun tanpa adanya penyerahan wewenang secara sah dan benar dari ayah kandung kepada orang yang ditunjuk, maka tidak ada hak sedikit pun baginya untuk menjalankan hal-hal yang di luar kewenangannya.
2. Dengan Gugurnya Syarat sebagai Wali
Bila ayah kandung tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka hak untuk menjadi wali akan turun kepada urutan wali berikutnya, di mana daftarnya sudah baku dan tidak bisa dibuat-buat sendiri. Dan syarat sebagai wali sudah disebutkan yaitu (1) muslim, (2) laki-laki, (3) akil, (4) baligh, (5) merdeka dan (6) adil.
Adapun bila ayah itu tidak pernah memberikan nafkah, perhatian, kasih sayang, waktu serta pemeliharaan, tidak pernah bisa dijadikan alasan untuk gugurnya hak perwalian yang dimilikinya.
Namun bila salah satu dari ke-enam syarat itu tidak dimilikinya, maka gugurlah haknya sebagai wali. Misalnya, bila sorang ayah kandung tidak beragama Islam, baik karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad, maka haknya sebagai wali gugur dengan sendirinya. Atau misalnya dia menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat sebagai ‘aqil tidak terpenuhi, dengan demikian gugurlah haknya untuk menjadi wali.
3. Dengan Meninggalnya Yang Bersangkutan
Bila seorang ayah kandung yang menjadi wali meninggal dunia, otomatis dia tidak mungkin menjadi wali. Maka yang berhak menjadi wali adalah wali yang berada pada urutan berikutnya. Dan begitulah seterusnya.
Bila seorang ayah kandung gugur dari kedudukannya sebagai wali, lalu yang berhak adalah wali dalam daftar urutan berikutnya. Bila wali yang ada dalam urutan berikutnya ini ada cacatnya, maka perwalian dipegang oleh nomor urut berikunya.
Para ulama dalam mazhab As-Syafi’i telah menyusun dan menetapkan daftar urutan wali, yang tidak boleh dilangkahi. Mereka adalah
a. Ayah kandung
b. Kakek
c. Saudara laki-laki, yang seayah dan seibu. Misalnya kakak atau adik calon istri, yang penting sudah aqil baligh. Tetapi bila saudara yang satu ibu tapi lain ayah tidak bisa menjadi wali.
d. Saudara laki-laki, yang seayah saja
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja
g. Paman, atau saudara laki-laki ayah kandung
h. Anak paman (sepupu laki-laki)
Perlu diketahui bahwa urutan ini tidak boleh diacak-acak, di mana paman tidak bisa langsung mengambil alih posisi sebagai wali, selama masih ada kakek, kakak, adik, keponanakan dengan segala variannya.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa sepupu memliki kedudukan istimewa secara hukum dalam Islam. Meski dia berhak berperan menjadi wali sekaligus juga berhak menikahi. Maka jika sepupu (laki-laki) ini berniat menikahi sepupu wanitanya, gugurlah kewajibannya sebagai wali.

Warning !!
 
Meski saudara sepupu  bukan termasuk mereka yang haram untuk dinikahi dalam Islam. Namun tetap saja ada resiko kecil akan terjadi, yaitu masalah genetika pada anak-anak mereka dan itu menjadikan pernikahan antar sepupu tidak dianjurkan. Umar Bin Khattab mengatakan: ‘Nikahi orang asing agar lebih sehat.’

Resiko kesehatan yang sama jika ada saudara sepupu menikah adalah seperti seseorang menikahi wanita di atas 35 tahun. Resikonya pun akan sama jika ada seorang pria atau wanita memilih pasangan hidup dari keluarga yang memiliki penyakit tertentu. Tapi kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak cukup berat untuk menyalahkan pernikahan seperti ini.

Namun seseorang harus mencoba dengan segala kemungkinan untuk mencegah pernikahan seperti ini. Tindakan pencegahannya itu antara lain teknik ilmu pengetahuan modern untuk menguji genetika. Teknik seperti itu sekarang sudah tersedia, untuk pasangan yang hendak menikah, untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya masalah kesehatan di masa yang akan datang. Pasangan yang hendak menikah dapat melaksanakan pengujian ini. Pengujian seperti itu dianjurkan, bukan hanya untuk pernikahan antar sepupu, tapi juga untuk semua orang, karena bisa saja orang asing pun akan menghadapi masalah yang sama. Dan oleh karena itu kemungkinan akan ada masalah genetika dari pernikahan antar sepupu tidak cukup kuat untuk menjadikannya haram dilakukan.
Satu faktor penting lainnya, yang cukup layak disebutkan, adalah kecenderungan yang ada di masyarakat. Umumnya mereka, bahkan sampai sekarang, masih bersifat kesukuan. Orang-orang di dalamnya hanya saling mengenal melalui jalur keluarga.  

Pembolehan untuk menikahi sepupu ini terkait dengan kebijakan umum dari hukum Islam yang cenderung luas, tidak menyempitkan pilihan yang akan dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, kecuali hal itu benar-benar akan mengancam dirinya.

Selasa, 29 November 2011

Software Pengingat Waktu Sholat


Software Pengingat Waktu Sholat ( versi 3.08 )


" Dan ini (Al Quran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya "  
(Al - Al'am : 92)

Sebuah kaidah fiqih : 
"Hukum asal pada sesuatu adalah kebolehan. Selama tidak ada dalil yang melarangya"

Guyz..Silahkan berfacebook, ngetwitt, ngeblog dsb untuk tujuan silaturahim, oleh sebab disyariatkan dan instrument dakwah virtual kita sebagai penerus risalah kenabian. Tetapi ingatlah, satu hal yang menjadi fardlu 'Ain kita. Asshalatul jama'ah.

Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah tiba atau sebentar lagi tiba (setting manual sendiri suara azan). Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk menunaikan Sholat. Softwarenya dilengkapi Bahasa Sundanya juga lho

shollu_setup_3.08.2.zip - 996.45 KB
Download
Hit : 291,344

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
Director,Mentor di HUDAIBIYA FOUNDATION