( serial Dakwah Kampoeng : Ust. Adhie )
Mampir sejenak di sebuah warung kopi. Seorang teman bertanya tentang seorang Imam yang kurang baik bacaannya di suatu Masjid di Kampung tempat dia tinggal. menanyakan apa sah shalat jama'ahnya, perlukah diulang kembali dan dikerjakan secara Munfarid, atau mesti Mufaraqah (memisahkan diri tidak ikut jama'ah)?
Diantara persyaratan seorang bisa menjadi
imam dalam shalat adalah memiliki kemampuan untuk membaca Al Qur’an dengan
benar dan memiliki sejumlah hafalan tertentu menjadi sebab sahnya shalat.
Persyaratan itu bisa dianggap jika
orang-orang yang bermakmum kepadanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan
dalam membaca Al Qur’an. Tidaklah sah imamnya seorang yang ummi (tidak
bisa baca Al Qur’an) terhadap orang yang bisa membacanya, tidaklah sah imamnya
seorang yang bisu terhadap orang yang bisa membaca Al Qur’an atau terhadap
orang yang ummi karena membaca adalah salah satu rukun didalam shalat. Tidaklah
sah makmumnya seorang yang pandai membaca Al Qur’an dibelakang orang yang tidak
pandai membacanya karena imam adalah penjamin dan yang bertanggungjawab
terhadap bacaan makmumnya dan ini tidaklah mungkin terdapat didalam diri orang
yang ummi.
Adapun imamnya seorang yang ummi untuk orang
yang ummi juga atau bisu maka diperbolehkan, ini merupakan kesepakatan para fuqaha.
Kemudian imamnya seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang
melantunkan dengan suatu lantunan yang tidak merubah arti maka ia makruh
menurut para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut para ulama
Hanafi bahwa seorang yang selalu mengulang huruf fa’ atau ta’ atau yang
mengucapkan huruf siin menjadi tsa atau ro’ menjadi ghoin atau sejenisnya maka
ia dilarang untuk menjadi imam. Menurut para ulama Maliki keimaman mereka
dibolehkan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2149)
Jumhur ulama (para ulama Hanafi, Maliki dan
Hambali) menagatakan bahwa janganlah seorang makmum lebih kuat (mampu)
keadaannya dalam membaca Al Qur’an daripada imamnya. Tidak diperbolehkan
seorang pandai membaca Al Qur’an bermakmum dengan seorang yang ummi tidak dalam
shalat wajib maupun sunnah. Tidak diperbolehkan seorang yang sudah baligh
bermakmum dengan anak kecil, tidak diperbolehkan seorang yang mampu melakukan
ruku’ dan sujud bermakmum dengan orang yang tidak mampu melakukan keduanya.
Demikian pula tidak sah makmumnya seorang
yang sehat dibelakang orang yang sakit seperti penderita enuresis. Tidak sah
makmumnya seorang yang menutup aurat dibelakang orang yang tampak auratnya
sebagaimana pendapat para ulama Hanafi dan Hambali sementara hal itu dimakruhkan
oleh Maliki,
Para ulama Hanafi menyebutkan sebuah kaidah
dalam permasalahan ini,”Pada dasarnya keadaan imam walaupun seperti keadaan
makmumnya atau lebih diatasnya maka shalat mereka semua dibolehkan. Akan tetapi
jika imamnya dibawah kualitas makmum maka shalatnya imam sah dan shalat
makmumnya tidaklah sah. Dan jika imamnya ummi sementara makmumnya seorang yang
pandai membaca Al Qur’an atau imamnya bisu maka shalat imamnya juga tidak sah.
Para ulama Hanafi telah memperluas penerapan
prinsip ini pada banyak permasalahan. Kadah ini diikuti oleh para ulama Maliki
dan Hambali sementara para ulama Syafi’i menentang mereka dibanyak
permasalahan. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal II 1899)
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa barangsiapa
yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf dalam surat al Fathihah
dikarenakan kelemahan membacanya atau merubahnya dengan huruf yang lain,
seperti orang yang al altsagh (merubah huruf ro’ menjadi ghoin), al arotti
(orang yang mengidghomkan satu huruf ke huruf lainnya) atau melagukan dengan
dengan lagu yang merubah makna seperti orang yang mengkasrohkan huruf kaf pada
iyyaka atau orang yang mendhommahkan huruf ta’ pada an’amta dan tidak mampu
memperbaikinya maka orang itu adalah seperti seorang yang ummi dan tidak
diperbolehkan bagi seorang yang pandai membaca al Qur’an bermakmum kepadanya.
Dan diperbolehkan bagi setiap mereka menjadi
imam bagi orang yang memiliki bacaan seperti dirinya karena keduanya adalah
orang yang ummi, diperbolehkan bagi salah seorang dari mereka berdua menjadi imam
bagi seorang lainnya seperti dua orang yang tidak bisa memperbaiki bacaannya
sedikit pun.
Sedangkan apabila seorang yang mampu
memperbaiki bacaannya namun ia tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah
begitu juga dengan shalat orang yang bermakmum dengannya. (al Mughni juz II hal
411)
Dengan demikian tidak seharusnya seorang
imam memiliki kualitas bacaan yang buruk atau tidak benar didalam pengucapan
huruf-huruf al Qur’an baik ketika membaca Al Fatihah yang merupakan salah satu
rukun shalat atau surat-surat lainnya sementara dibelakangnya terdapat orang
yang pandai membaca Al Qur’an.
Hal itu dikarenakan akan mempengaruhi
kesahan shalat dirinya atau shalat makmum yang lebih pandai darinya sebagaimana
penjelasan diatas.
Mufaraqah
Dari Imam Sholat Yang Buruk Bacaannya
Tentang niat mufaroqoh (memisahkan diri)
seorang makmum dari imam lalu dia menyelesaikan shalatnya sendirian baik karena
adanya uzur atau tidak maka ini boleh meskipun makruh menurut para ulama
Syafi’i karena ia memisahkan diri dari berjama’ah yang merupakan kewajiban atau
sunnah yang muakkad.
Sedangkan menurut para ulama Hambali bahwa
mufaroqoh dibolehkan jika terdapat uzur. Sedangkan jika tidak terdapat uzur
didalamnya maka dalam hal ini terdapat dua riwayat, pertama : shalat orang yang
mufaraqoh itu tidak sah, pendapat inilah yang benar. Kedua : shalatnya sah. Para ulama Syafi’i mengecualikan pada shalat
jum’at.
Diantara perkara-perkara yang dikatakan uzur
seperti : panjanganya bacaan imam, meninggalkan salah satu sunnah shalat
seperti tasyahhud awal, qunut—maka dirinya boleh mufaroqoh dengan mengerjakan
sunnah itu—atau sakit, khawatir dirinya diserang rasa ngantuk, terdapat sesuatu
yang merusak shalatnya, takut hartanya hilang atau rusak, ketinggalan
rombongan, atau terdapat orang yang meninggalkan shaff lalu tidak ada orang
menggantikannya untuk berdiri disampingnya.
Dalil mereka adalah apa yang disebutkan
didalam ash shahihain,”Bahwa Muadz melaksanakan shalat isya bersama para
sahabatnya dan ia memanjangkan (bacaannya) lalu terdapat seorang laki-laki yang
keluar (dari shaff) dan mengerjakan shalat. Kemudian Muadz mendatangi Nabi saw
dan menceritakannya dan Rasulullah saw pun marah dan mengingkari apa yang
dilakukan Muadz dan beliau saw tidak mengingkari apa yang dilakukan lelaki itu
serta beliau saw tidak memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”
Para ulama Hanafi mengatakan bahwa boleh
seorang makmum melakukan salam sebelum imam meski hal itu makruh, akan tetapi
mereka tidak mempebolehkan melakukan mufaroqoh. Sedang para ulama Maliki mengatakan
barangsiapa yang bermakmum dengan seorang imam maka tidak boleh baginya
melakukan mufaroqoh. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II 1227)
Jadi mufaroqoh yang kita lakukan ketika
terdapat uzur termasuk bacaan imam yang tidak baik dalam al Fatihah diperbolehkan
menurut madzhab Syafi’i dan Hambali. Meskipun hal itu diperbolehkan akan tetapi
apabila dilakukan terus menerus tentunya akan menjadi perhatian para makmum
lain yang ada di sekitar kita. Bisa jadi diantara mereka terdapat orang-orang
awam yang tidak memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan shalat secara baik
sehingga dikhawatirkan memunculkan fitnah karena ketidaktahuan mereka.
Untuk itu ada baiknya kita mengingatkan
permasalahan ini kepada imam tersebut dengan cara yang penuh hikmah dan
bijaksana serta sebisa mungkin dilakukan secara sembunyi antara kita dan
dirinya saja dan meminta agar yang bersangkutan memperbaiki bacaannya atau jika
tidak bisa agar menyerahkan keimamannya kepada orang yang lebih baik bacaannya.
Jika nasehat atau peringatan yang kita
sampaikan kepadanya tidaklah diterima atau dijalaninya sehingga orang itu tetap
saja bersikukuh untuk menjadi imam shalat-shalat fardhu di masjid kita sementara kualitas bacaannya masih tidak baik (buruk) maka hendaklah kita
mencari masjid lain sekitar rumah kita yang bacaan imamnya baik meski hal itu
menjadikan berkurangnya jumlah makmum di masjid tempat kita tinggal. Dikarenakan sahnya
shalat seseorang di dalam shalat berjama’ah dipengaruhi juga oleh kualitas
bacaan imam. Oleh karena itu setiap orang bertanggung jawab untuk menentukan
siapa imam shalatnya sehingga shalatnya menjadi sah.
Akan tetapi apabila di sekitar rumah kita
tidak ada masjid selainnya atau ada namun jaraknya cukup jauh untuk ditempuh
maka diperbolehkan bagi kita untuk tetap bermakmum kepada imam di masjid kita
yang buruk bacaannya itu dikarenakan keterpaksaan.